10 November 2008

Syahidnya Mujahideen Bali


Imam Samudra: ”Demi Allah, Tak Akan Selesai”


Di Penjara Kerobokan, Denpasar, Bali, sebuah sosok bernama Imam Samudra menjemput kematian seperti sebuah anugerah. Lelaki berusia 33 tahun itu berkata, ”Allah telah mencabut semua keraguan dan ketakutan dari hati saya.” Kecuali tubuhnya yang kian ramping, janggutnya yang panjang, kulitnya yang semakin bersih, dan sorot matanya yang dingin, tak ada yang berubah dari Imam Samudra sejak dia tertangkap beberapa bulan silam.

Di penjara yang jaraknya sekitar seribu kilometer dari kampung halamannya, Serang, Jawa Barat, itu dia mengaku rajin menulis surat untuk sang istri dan empat anaknya. ”Saya membuat sejumlah wasiat untuk mereka.”
Dengan ganjaran hukuman mati dari majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar, Imam Samudra, yang dianggap sebagai arsitek aksi bom Bali, kini menghitung hari sembari menulis sebuah buku memoar.

Tampaknya, Imam Samudra alias Abdul Aziz siap menerima risiko dari jalan kekerasan yang dipilihnya. ”Ini hukum penguasa kafir, harus terus dilawan,” ujarnya dingin. Dia bahkan menyebut vonis mati atas dirinya justru sia-sia. Perjuangan kelompoknya, kata dia, akan terus maju. ”Ini cuma setitik debu bagi para mujahid yang sedang berjuang di luar,” ujarnya. Lalu kapan aksi mereka akan berakhir? Berikut ini petikan wawancara TEMPO dengan bekas mahasiswa kimia di Institut Teknologi Malaya itu.




Mengapa Anda memilih jalan perjuangan seperti sekarang ini?

Awalnya saya membaca buku Allah Turun di Afganistan. Isinya tentang para syuhada di Afganistan. Ada yang digilas tank, tapi tak mati, mungkin karena memang belum waktunya. Ada juga kisah dari makam para syuhada, setiap Senin dan Kamis, terdengar orang bertakbir. Atau soal pasukan mujahidin yang terkurung di satu bukit, tanpa makanan sama sekali. Tiba-tiba, ada helikopter yang menerjunkan makanan bagi tentara Rusia, yang juga terkurung di bagian bukit yang lain. Tapi, dengan takdir Allah, justru makanan itu jatuh di tempat mujahidin.

Kisah seperti itu yang membuat saya tertarik. Banyak riwayat, tentunya yang shahih, fadhilah, atau keutamaan para syuhada. Dikatakan, begitu darah pertama tertumpah ke bumi, segala dosanya diampunkan. Belum lagi jasadnya jatuh, sudah disambut oleh bidadari, yang wanginya itu melebihi dunia dengan segala isinya. Sesaat sebelum dia terluka, telah ditentukan tempatnya di surga. Makanya, dengan keyakinan itu, orang saya itu tak pernah mundur.

Kapan Anda membaca buku itu?


Saya membaca buku itu sewaktu duduk di kelas 2 SMP. Saya dapat dari sepupu saya, yang juga syahid di Afganistan. Namanya Ahmad Sobari. Saya pun tertarik untuk ke Afganistan. Doa saya terkabul. Saya ke Afganistan pada 1990.

Apa yang Anda dapatkan di sana?


Fikrah. Di sana, saya mendapat banyak perubahan cara berpikir. Dulu, saya sangat senang dengan ajaran Syiah, Mu’tazilah, dan lain-lain yang menggunakan logika sebagai dasar. Dulu, sekalipun hadis itu sahih, jika bertentangan dengan logika, akan saya tolak.

Itu sebelum ke Afganistan?

Ya, sebelum ke Afganistan. Saya bahkan masih mengagumi Amien Rais (mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah—Red.) dan lain sebagainya itu. Setelah saya mengerti, itu semua saya masukkan ke tong sampah sekarang.

Pengalaman apa yang paling membekas?

Saya bertemu dengan orang yang paling dibenci oleh Amerika Serikat, seperti Syekh Abdurrasul Sayyaf (salah satu panglima mujahidin di Afganistan). Walau paling dibenci Amerika, dia adalah orang nomor wahid di Afganistan. Saya terkesima, tapi bukan tersihir. Saya banyak mendapat kebenaran dari dia. Selain itu, banyak juga kawan yang berasal dari Arab. Mereka mengarahkan saya kepada fikrah yang sebenarnya.

Pikiran baru itu langsung Anda terima?

Sebenarnya waktu itu masih ada clash, benturan, di batin saya. Misalnya, waktu itu, saya masih menganggap fikrah (pikiran) jihad itu adalah dakwah. Jadi, ada konflik berat. Tapi, waktu itu, saya membaca sebuah hadis, dan ini juga hadis sahih, bahwa yang terberat itulah yang terbenar. Dan itu pasti dibenci oleh orang-orang kafir. Jadi, saya mulai masuk ke dalam mazhab salafus sholeh (mazhab yang berupaya memurnikan kembali ajaran Quran dan hadis, salah satunya dengan cara mengikuti cara hidup Nabi Muhammad—Red.).

Di Afganistan, Anda juga latihan militer?

Secara fisik, katakanlah, memang ada proses militerisasi. Dalam arti dengan jalan Islami, tidak bercampur dengan teori-teori kafir yang lazimnya boleh langsung tampar jika ada yang salah, atau ditelanjangi. Kami tak seperti itu. Jadi, betul-betul dengan metode on to the heart, masuk ke dalam hati betul. Yang salah paling disuruh baca Al-Quran atau baca hadis, atau hukumannya hanya push up dan lari. Kelihatannya itu memang sepele, tapi itu bisa menyentuh hati.

Kalau jadwal latihan harian?

Tergantung kondisi. Kalau lagi perang, latihan kan tak bisa. Situasional sekali. Tapi kita selalu waspada, alert. Itu wajib.

Pasti Anda punya pengalaman bertempur juga.

Ada. Tapi saya khawatir membatalkan amal saya, jadi tak usah diceritakan.

Berapa lama di Afganistan?

Intensifnya berpindah-pindah. Saya berada di sana selama tiga tahun.

Lalu mengapa sekarang berjuang dengan aksi teror bom?

(Sebutan teror bom) itu propaganda orang kafir. Mereka paling tahu cara membungkam Islam. Memang, dalam perang seperti itu, selalu ada propaganda melemahkan lawan. Kita sampai menyebut hal itu teroris karena ayat dalam Al-Quran yang berbunyi ”sampai mereka merasa takut” diterjemahkan Al-Quran versi Inggris oleh Yusuf Ali sebagai to terrorized, bukan to be afraid. Siapa yang harus dibuat takut? Tak lain musuh Allah, musuh Islam.

Tampaknya Anda sangat terpengaruh dengan konflik di Afganistan dan juga mungkin di Palestina. Apakah Anda akan berhenti kalau konflik itu selesai?

Saya menjawab ini dengan mengutip firman Allah Swt., ”Dan perangilah mereka sampai tak ada fitnah.” Hanya ada satu jalan, yaitu jihad. Ada tafsir dari Ibnu Katsir soal fitnah itu. Pertama, kemusyrikan. Kedua, tidak menegakkan hukum Allah. Jadi, untuk mengeliminasi fitnah itu, hanya ada satu cara, dengan jihad. Bukan lewat pemilihan umum, bukan dengan demokrasi. Itu konsep Barat dan yang sekarang menjadi dien atau agama baru. Lalu banyak umat Islam sekarang yang pengecut. Mereka menyembunyikan hadis sahih. Dalam satu hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim disebutkan, ”Aku diutus oleh Allah menjelang hari kiamat dengan membawa pedang.” Itu hadis sahih.


Seandainya persoalan umat Islam lebih mendapat perhatian, apakah akan terus menjalankan jihad?

Bukan soal perhatian atau simpati. Kami hanya menjalankan kewajiban syar’i, kewajiban syariat, hanya dengan satu jalan: jihad fisabilillah.
Tapi aksi teror bom itu kan tidak populer?
Ya, memang seperti itu. Saya beri contoh, ada satu pendakwah Islam yang sangat populer sekarang dan disukai oleh semua agama. Saya tertawa. Itu something wrong. Coba kita lihat Muhammad sebelum mendapatkan kenabiannya. Semua orang suka kepadanya dan dia dijuluki ”Al-Amin”. Dari kaum Quraisy sampai Yahudi pun suka dengan dia. Tapi, begitu risalah kenabian datang, namanya berubah menjadi ”Al-Majnun”. Dibilang orang gila, dibilang tukang sihir, memecah belah persatuan. Jadi, memang seperti itu. Pasti dicela dan dimaki. Seperti firman Allah Swt., ”Dia mengutus kamu Muhammad dengan hidayah, untuk dimenangkan, walaupun orang kafir membenci.” Jadi, kebencian itu adalah satu konstanta. Jadi, kalau tak dibenci orang kafir, ya, artinya belum sampai ke tahap itu.
Ganjaran aksi terorisme adalah hukuman mati....
Hukuman mati tak akan menyelesaikan persoalan. Ini cuma setitik debu bagi para mujahid yang masih berjuang di luar. Saya jamin, persoalannya tak akan selesai. Demi Allah, tak akan selesai.

Anda sama sekali tak takut ancaman mati itu?

Alhamdulillah, Allah telah mencabut semua keraguan dan ketakutan di hati saya.

http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/09/10/nrs,20040910-08,id.html





The Bali bomb 'commander'

Imam Samudra testifies during Ba'asyir trial
Imam Samudra was the only suspect with a university degree
Imam Samudra - sentenced to death for organising the Bali bombings and executed on 8 November 2008 - is remembered in his home village as a studious child, but prone to occasional emotional outbursts.

Born Abdul Aziz, he grew up in Serang, west Java, raised by a single mother as one of 12 children.

Though he has barely been in contact for 12 years, his mother, Embay Badriah, said she could not believe her son, now 33, could have played a part in the deadly attack, in which more than 200 people died.

Imam Samudra graduated from his Islamic school with flying colours.


He came from a not so well-to-do family, but he was very active in his studies
Former teacher, A Fathoni

A former teacher, A Fathoni, told Metro TV: "He was always a star of his class, at the top rank, for the first, second and third year he was here.

"He came from a not so well-to-do family, but he was very active in his studies."

The suspect's older sister, Alyiah, said police must have fabricated evidence showing his involvement in the Bali plot.

"He studies a lot, is very calm, and prays every day," she said soon after his arrest.

"But when he was a child, he easily got upset and cried a lot."

Imam Samudra left home in 1990 and did not return for a decade - and then only for a few hours before disappearing again, according to his mother.

It is during that intervening 10 years that police said Imam Samudra - who uses at least six other names - became involved with alleged militant leaders.

He went to Malaysia and taught at a religious school in the south of the country in the early 1990s.

Indonesian authorities say the school was run by the suspected leaders of the militant Jemaah Islamiah group - Abu Bakar Ba'aysir, the group's spiritual leader, and Riduan Isamuddin, also known as Hambali.

It remains unclear what role, if any, Imam Samudra played in Jemaah Islamiah. The indictment against him makes no mention of the network

Mr Ba'aysir has denied having any ties to the organisation blamed for a series of church bombings as well as the Bali attack.

Foreign governments have linked Jemaah Islamiah to al-Qaeda. According to prosecutors, Imam Samudra travelled to Afghanistan to learn bomb-making and fight for the Taleban.

They said he used those skills in the bombings of Indonesian churches in 2000 - attacks which Mr Ba'aysir is accused of orchestrating.

Police alleged that the calmness remembered by his sister turned into a cold-blooded single-mindedness.

The only one of the suspected bombers to have a university degree, Mr Samudra was portrayed by authorities as the quiet intellectual of the group.

They said he even stayed in Bali for days after the bombing to survey the devastation he wrought and observe the reactions of people he affected.

http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/asia-pacific/2499943.stm



p/s: Artikel ini bukanlah menunjukkan bahawa saya adalah golongan yang bersetuju 100% dengan tindakan radikal untuk mengislahkan muka bumi, tetapi sekadar pandangan seorang Muslim terhadap Perjuangan Menegakkan agama.

6 Perkongsian:

  1. Subhanallah.akhirnya syahid juga mereka semua..Moga semuanya di tempatkan bersama para nabi dan aulia Allah yang mulia di Jannah..Suci sungguh perjuangan mereka.sesuci perjuangan para nabi dan Rasul yang terdahulu.memang sedap mata memandang wajah mereka semua..Allahu akbar!!!

    ReplyDelete
  2. http://www.minda-mahasiswa.blogspot.com/

    ReplyDelete
  3. salam..
    ana...hurm..kurg bsetuju sbnanye dgn tindakan 3 org imam ni..
    krn ana sndiri mngkaji tajuk pengeboman berani mati tahun lepas untuk presentation kuliah Islam dan Isu2 Semasa..
    dr kajian tu, pengeboman mrupakan pilihan yg paling akhir dlm berjihad menegakkan agamaNYA setelah tiada cara lain lg yg lbih baik..
    tmbhn pula, hny 2 tmpt yg halal pengeboman berani mati di muka bumi, iaitu Palestin dan Iraq..krn tanah mereka dirampas oleh Yahudi Zionis..
    pd pndgn ana, msh ada cara lain yg bole dilakukn oleh mereka ntuk mengislahkn muka bumi tnpa perlu mengebom bali klau dilihat keadaan bali ketika itu..
    wallahu'alam..

    ~skdr pndgn dr sorg mujahidah yg mrindukan al-Quds~

    ReplyDelete
  4. http://www.youtube.com/watch?v=FQnXyexzSm4&feature=related

    Hadiah buat isteri

    ReplyDelete
  5. Saya tertarik dengan kata-kata seorang ulama tassauf, yang bunyinya lebih kurang bergini:

    Jangan merasa pandai, tapi HARUS PANDAI MERASA

    Rasa-rasanya, betul ke apa yang dipaparkan dalam media arus perdana?

    ReplyDelete
  6. media mmg ssh nk pcaya da..
    yg pnting skrg kita tanam smgt juang seperti mrk dlm jiwa kita..
    insya'ALLAH satu hr nnti kita mampu mgunakan smgt itu selayaknya di jlnNYA...

    ReplyDelete

 

FikrahNazifa Template by Ipietoon Cute Blog Design